SAHABAT MADRASAH

Selasa, 31 Juli 2012

PELAJAR-PELAJAR MAAHAD TAHFIZ AL-QURAN NUSRATUL ULUM (MATAN)


SELAMAT MAJU JAYA...SELAMAT BERPUASA DARI KAMI WARGA MATAN.

BALASAN TERHADAP YANG BENCI KEPADA NABI MUHAMMAD S.A.W


Ini ada satu kisah menarik untuk dikongsikan...mungkin anda pernah membaca atau mendengarnya..mari kita recall bersama-sama...


Kata-kata Syeikh Az-Zabidi: “Musuh-musuh Rasulullah s.a.w., selepas menghancurkan makam-makam mulia di perkuburan Al-Baqi’, mereka beralih ke kubah makam Rasulullah. Salah seorang daripada mereka pun naik ke puncak kubah untuk menghancurkannya, serta-merta Allah mengirimkan petir/api menyambar orang tersebut... dengan hanya sekali sambaran lelaki itu pun terus kejang dan mati sedangkan jasadnya melekat di atas kubah yang mulia itu.


Hingga kini tiada seorang pun mampu menurunkan mayat tersebut dari atas kubah. Kemudian seorang yang sangat soleh bermimpi berjumpa Nabi s.a.w. dan memberitahunya bahawa tidak akan ada seorang pun yang mampu menurunkan mayat tersebut. Dengan kata lain, orang tersebut “dikuburkan” di atas kubah itu; dengan meletakkan sesuatu di atasnya sebagai penutup.... semoga menjadi 'ibrah dan pengajaran.”sumber:fb

Senin, 23 Juli 2012

KELEBIHAN ZIARAH ORANG SAKIT

Abu Hurairah radhiallahu anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah-shallallahu 'alaihi wasallam-bersabda:

"Hak muslim atas muslim lainnya ada lima: Menjawab salam, menjenguk yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang yang bersin".
(HR. Al-Bukhari no. 1240 dan Muslim no. 2162)

Dari Tsauban-budak-Rasulullah-shallallahu 'alaihi wasallam-bahawa Rasulullah shallallahu' alaihi wasallam bersabda:

"Sesiapa yang menjenguk orang yang sakit, maka orang itu sentiasa berada dalam khurfah syurga." Beliau ditanya, "Apa itu khurfah syurga wahai Rasulullah?" Beliau menjawab, "Kebun yang penuh dengan buah-buahan yang dapat dipetiknya."
(HR. Muslim no. 2568)

Ali-radhiallahu 'anhu-berkata: Aku telah mendengar Rasulullah-shallallahu' alaihi wasallam-bersabda:

"Tidaklah seorang muslim menjenguk muslim yang lain pada pagi hari, kecuali 70000 malaikat akan berselawat untuknya hingga petang hari. Jika dia menjenguknya di petang hari, maka 70000 malaikat akan berselawat untuknya hingga pagi. Dan dia akan mendapatkan kebun yang penuh berisi buah-buahan di syurga kelak. "

(HR. At-Tirmizi no. 969)
Makna selawat dari malaikat adalah malaikat akan mendoakan agar Allah mengampuni dan merahmatinya.

Penjelasan ringkas:

Di antara akhlak mulia yang dituntut oleh Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-kepada umatnya adalah menjenguk saudaranya yang sakit, kerana hal itu boleh meringankan penyakit yang dialami oleh saudaranya tersebut dan juga boleh menghibur hatinya. Bahkan menjenguk muslim yang sakit hukumnya adalah wajib kerana Nabi-shallallahu alaihi wasallam-menjadikannya sebagai hak seorang muslim ke atas saudaranya muslim yang lain. Dan ini berlaku umum baik yang sakit adalah anak-anak mahupun orang dewasa, lelaki mahupun wanita, kaum kerabat mahupun bukan, hanya saja jika yang sakit itu adalah kaum kerabat maka kewajibannya lebih ditekankan.

Adab-adab bagi para penjenguk:

1. Mengingatkan orang yang sakit untuk selalu bersabar atas takdir Allah atas dirinya.

2. Mewasiatkan kepada orang yang sakit untuk banyak-banyak bertaubat dan beristighfar kepada Allah.

3. Dibolehkan menjenguk orang kafir. Ini berdasarkan hadis Anas bin Malik riwayat Al-Bukhari no. 5657 dimana Nabi-shallallahu alaihi wasallam-menjenguk seorang pemuda Yahudi-yang menjadi pelayan beliau-ketika dia sakit.

4. Menjenguk orang yang sakit boleh bila-bila masa selama tidak mengganggu orang yang sakit tersebut.

5. Tidak terlalu lama menjenguk kerana boleh mengganggu rehat orang yang sakit, kecuali jika orang yang sakit meminta dia untuk tinggal lebih lama.

6. Dianjurkan untuk duduk di sisi kepala orang yang sakit.

Abdullah bin Abbas-radhiallahu anhuma-berkata, "Jika Nabi-shallallahu alaihi wasallam-saat menjenguk orang yang sakit, beliau duduk di samping kepalanya".
(HR. Al-Bukhari no. 536 dalam Al-Adab Al-Mufrad)

7. Menanyakan keadaan orang yang sakit, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi-shallallahu alaihi wasallam-ketika menjenguk Abu Bakar As-Siddiq yang tengah sakit. (HR. Al-Bukhari no. 5654 dan Muslim no. 1376)

8. Mendoakan kebaikan dan kesembuhan untuk orang yang sakit, kerana para malaikat akan mengaminkannya.

Dari Ummu Salamah-radhiallahu 'anha-dia berkata: Rasulullah-shallallahu alaihi wasallam-bersabda:

"Apabila kamu menjenguk orang yang sedang sakit atau yang telah meninggal maka ucapkanlah ucapan-ucapan yang baik, kerana sesungguhnya para malaikat akan mengaminkan apa yang kamu katakan." (HR. Muslim no. 1527)

9. Di antara doa-doa yang disunnahkan untuk diucapkan adalah:

لا بأس طهور إن شاء الله
"Tidak mengapa, insya Allah penyakit ini penyuci (dari dosa-dosa)."
(HR. Al-Bukhari no. 3616)

"Ya Allah, sembuhkanlah si fulan."
(HR. Al-Bukhari no. 5659 dan Muslim no. 1628)

Atau dia boleh meruqyah orang yang sakit tersebut dengan membacakan ayat-ayat Al-Qur `an kepadanya.

10. Tidak membawakan bunga kepada orang yang sakit kerana itu merupakan kebiasaan orang-orang non muslim. Sebaiknya dia membawakan makanan atau hal lain yang dia senangi.

11. Jika sakitnya kelihatan sangat parah dan dikhuatiri akan meninggal, maka disyariatkan bagi penjenguk untuk mentalqin kalimat 'laa ilaha illallah' kepada yang sakit.

Selasa, 17 Juli 2012

Ramadhan Mengantarkan Kepada Kemenangan

Foto: Ramadhan Mengantarkan Kepada Kemenangan

Bulan Ramadhan, bulan yang mulia, bulan yang selalu dinanti ummat islam, bulan ampunan tempat pahala berganda, bulan ampunan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan.

Bulan Ramadhan adalah bulan multi sarana, bulan Ramadhan adalah sarana untuk menggapai kemenangan, bulan Ramadhan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas perjuangan, dan bulan Ramadhan adalah sarana untuk mencapai kemerdekaan.

Masih banyak kiranya peran bulan Ramadhan sebagai bulan multi sarana, sarana untuk mempererat tali ukhuwah, sarana tarbiyah dan sebagai sarana yang lain-lainnya. Yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan bulan suci Ramadhan ini, jangan sampai bulan Ramadhan berlalu, tapi kita tidak mendapat sesuatu apapun. Merugilah kita tentunya.

Bagaimana bulan suci Ramadhan mengantarkan umat islam pada kemenangan dan kejayaan, apa rahasia yang ada sehingga sejarah mencatat karya-karya gemilang terjadi di bulan suci Ramadhan?

Perang Badar adalah salah satu sejarah kemenangan di bulan suci Ramadhan. Tepat tanggal 17 Ramadhan meletuslah perang Badar yang dahsyat itu. Pasukan kafir Quraisy menghujani pasukan Muslimin dengan anak panah. Pasukan Muslim balas menyerang dengan gigih seraya meneriakkan kata, “Ahad… Ahad… Ahad…!” padahal Jumlah pasukan Muslimin hanya berkisar 300 orang dengan membawa 70 ekor unta. Sementara kekuatan Quraisy Makkah berkisar 1.000 orang, tiga kali lebih banyak dari kaum Muslimin. Perang yang amat dahsyat ini akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslim, pembela agama Allah. Perang yang terjadi di bulan Ramadhan ini menjadi peristiwa sangat penting dalam sejarah Islam.

Pada tanggal 21 Ramadhan tahun 8 Hijriah. Terjadi Peristiwa Pembebasan Makkah yang menjadi bukti sejarah kemerdekaan di bulan Ramadhan yang pada saat itu pasukan kaum Muslim dipimpin langsung oleh Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam-. Berhala- berhala yang sekian lama menodai kesucian Kab’ah dibersihkan. Musuh yang tertawan tidak dijadikan budak sebagaimana kebiasaan kaum musyrik ketika memenangkan pertempuran, melainkan dibebaskan dan dimaafkan. Pada saat itu Bilal naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Kalimat- kalimat agung yang dulu harus dibisikkan secara sembunyi-sembunyi itu kini membelah angkasa. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar…!

Bukan hanya di zaman Nabi dan shahabatnya, Peristiwa kemenangan jihad besar sepeninggal Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- juga banyak terjadi di bulan suci Ramadhan. Misalnya, pada Ramadhan 92 H, ketika Panglima Thariq bin Ziyad bersama 7.000 pasukan menyeberangi selat Gibraltar untuk membebaskan kota Andalusia di Spanyol. Di bukit Jabal Thariq, sang panglima berseru! “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukan negeri dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa.” Dalam rangka melawan pasukan Spanyol yang berkekuatan 100.000. Di bulan suci Ramadhan itu kaum Muslimin atas pertolongan Allah -ta'ala-, lagi-lagi memperoleh kemenangan.

Pada Ramadhan tahun 584 hijriah juga terjadi perang Salib di Eropa. Pasukan Islam yang dipimpin oleh Shalahudin Al-Ayubi berhasil memporak-porandakan pasukan Salib Eropa yang dipimpin Raja Richard III dari Inggris yang terkenal bengis. Tapi, berkat kegagahan Shalahudin Al-Ayubi, sang Raja yang berjuluk The Lion Heart itu akhirnya takluk. Dan kaum Muslim berjaya di Eropa.

Sebagai warga indonesia, kita harus tahu bahwa Ramadhan juga menjadi kemenangan besar bagi bangsa kita tercinta. Di bulan suci ini, tepatnya tanggal 17 Ramadhan 63 tahun lalu, bersamaan dengan 17 Agustus 1945, bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan. Sangat tepat jika dalam pembukaan UUD 1945 para pendiri bangsa ini menyatakan bahwa kemerdekaan adalah, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”

Sejarah telah mencatat, pada bulan suci Ramadhan banyak kesuksesan dan kemenangan besar diraih umat Islam.

Ini membuktikan bahwa bulan Ramadhan bukan bulan bermalas-malasan dan kelesuan. Rahasia kesuksesan tersebut dikarenakan niat yang ikhlash, komitmen yang kuat dan kesungguhan yang didasari dengan keyakinan sehingga banyak ditorehkan kesuksesan. Begitu pula dalam hadits diungkap kesibukan Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- dan masyarakatnya dalam mengisi Ramadhan. bagaimana beliau mengikat kain sarungnya di sepuluh malam yang terakhir sebagai pertanda kesungguhan dalam ibadah dan mengurangi tidur. Maka semestinya contoh-contoh seperti inilah yang kita tiru dalam hari-hari Ramadhan kita yang sedang kita jalani. Semoga Allah -ta'ala- memudahkan kita menjalani Ibadah di bulan Ramadhan dengan baik dan diliputi keberkhan. Aamiin

By: Irfanz
 


Bulan Ramadhan, bulan yang mulia, bulan yang selalu dinanti ummat islam, bulan ampunan tempat pahala berganda, bulan ampunan yang didalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan.

Bula...n Ramadhan adalah bulan multi sarana, bulan Ramadhan adalah sarana untuk menggapai kemenangan, bulan Ramadhan adalah sarana untuk meningkatkan kualitas perjuangan, dan bulan Ramadhan adalah sarana untuk mencapai kemerdekaan.

Masih banyak kiranya peran bulan Ramadhan sebagai bulan multi sarana, sarana untuk mempererat tali ukhuwah, sarana tarbiyah dan sebagai sarana yang lain-lainnya. Yang harus kita perhatikan adalah bagaimana kita bisa memanfaatkan bulan suci Ramadhan ini, jangan sampai bulan Ramadhan berlalu, tapi kita tidak mendapat sesuatu apapun. Merugilah kita tentunya.

Bagaimana bulan suci Ramadhan mengantarkan umat islam pada kemenangan dan kejayaan, apa rahasia yang ada sehingga sejarah mencatat karya-karya gemilang terjadi di bulan suci Ramadhan?

Perang Badar adalah salah satu sejarah kemenangan di bulan suci Ramadhan. Tepat tanggal 17 Ramadhan meletuslah perang Badar yang dahsyat itu. Pasukan kafir Quraisy menghujani pasukan Muslimin dengan anak panah. Pasukan Muslim balas menyerang dengan gigih seraya meneriakkan kata, “Ahad… Ahad… Ahad…!” padahal Jumlah pasukan Muslimin hanya berkisar 300 orang dengan membawa 70 ekor unta. Sementara kekuatan Quraisy Makkah berkisar 1.000 orang, tiga kali lebih banyak dari kaum Muslimin. Perang yang amat dahsyat ini akhirnya dimenangkan oleh kaum Muslim, pembela agama Allah. Perang yang terjadi di bulan Ramadhan ini menjadi peristiwa sangat penting dalam sejarah Islam.

Pada tanggal 21 Ramadhan tahun 8 Hijriah. Terjadi Peristiwa Pembebasan Makkah yang menjadi bukti sejarah kemerdekaan di bulan Ramadhan yang pada saat itu pasukan kaum Muslim dipimpin langsung oleh Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam-. Berhala- berhala yang sekian lama menodai kesucian Kab’ah dibersihkan. Musuh yang tertawan tidak dijadikan budak sebagaimana kebiasaan kaum musyrik ketika memenangkan pertempuran, melainkan dibebaskan dan dimaafkan. Pada saat itu Bilal naik ke atas Ka’bah dan mengumandangkan adzan. Kalimat- kalimat agung yang dulu harus dibisikkan secara sembunyi-sembunyi itu kini membelah angkasa. Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar…!

Bukan hanya di zaman Nabi dan shahabatnya, Peristiwa kemenangan jihad besar sepeninggal Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- juga banyak terjadi di bulan suci Ramadhan. Misalnya, pada Ramadhan 92 H, ketika Panglima Thariq bin Ziyad bersama 7.000 pasukan menyeberangi selat Gibraltar untuk membebaskan kota Andalusia di Spanyol. Di bukit Jabal Thariq, sang panglima berseru! “Kita datang ke sini tidak untuk kembali. Kita hanya punya dua pilihan, menaklukan negeri dan menetap di sini serta mengembangkan Islam, atau kita semua binasa.” Dalam rangka melawan pasukan Spanyol yang berkekuatan 100.000. Di bulan suci Ramadhan itu kaum Muslimin atas pertolongan Allah -ta'ala-, lagi-lagi memperoleh kemenangan.

Pada Ramadhan tahun 584 hijriah juga terjadi perang Salib di Eropa. Pasukan Islam yang dipimpin oleh Shalahudin Al-Ayubi berhasil memporak-porandakan pasukan Salib Eropa yang dipimpin Raja Richard III dari Inggris yang terkenal bengis. Tapi, berkat kegagahan Shalahudin Al-Ayubi, sang Raja yang berjuluk The Lion Heart itu akhirnya takluk. Dan kaum Muslim berjaya di Eropa.

Sebagai warga indonesia, kita harus tahu bahwa Ramadhan juga menjadi kemenangan besar bagi bangsa kita tercinta. Di bulan suci ini, tepatnya tanggal 17 Ramadhan 63 tahun lalu, bersamaan dengan 17 Agustus 1945, bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan. Sangat tepat jika dalam pembukaan UUD 1945 para pendiri bangsa ini menyatakan bahwa kemerdekaan adalah, “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa…”

Sejarah telah mencatat, pada bulan suci Ramadhan banyak kesuksesan dan kemenangan besar diraih umat Islam.

Ini membuktikan bahwa bulan Ramadhan bukan bulan bermalas-malasan dan kelesuan. Rahasia kesuksesan tersebut dikarenakan niat yang ikhlash, komitmen yang kuat dan kesungguhan yang didasari dengan keyakinan sehingga banyak ditorehkan kesuksesan. Begitu pula dalam hadits diungkap kesibukan Rasulullah -sholallahu 'alaihi wasallam- dan masyarakatnya dalam mengisi Ramadhan. bagaimana beliau mengikat kain sarungnya di sepuluh malam yang terakhir sebagai pertanda kesungguhan dalam ibadah dan mengurangi tidur. Maka semestinya contoh-contoh seperti inilah yang kita tiru dalam hari-hari Ramadhan kita yang sedang kita jalani. Semoga Allah -ta'ala- memudahkan kita menjalani Ibadah di bulan Ramadhan dengan baik dan diliputi keberkhan. Aamiin

Selasa, 10 Juli 2012

MATAN memerlukan sumbangan kewangan dari pelawat blog ini

Ma’had Tahfiz Al-Quran Nusratul Ulum(MATAN) terletak di kampung Cherok To Kun Atas,Bukit Mertajam, Pulau Pinang. MATAN berhampiran sebuah tempat rekreasi yang terkenal disini iaitu hutan lipur Bukit Mertajam. MATAN telah ditubuhkan pada tarikh 1/6/2010.
Pada masa ini, MATAN masih lagi menyewa di sebuah premis.Kewangan MATAN hanya bergantung kepada yuran yang diambil dari para pelajar sebanyak RM100.00 sebulan.
MATAN juga menyediakan pengajian secara percuma kepada anak-anak yatim yang tidak berkemampuan. 
Permintaan dari masyarakat untuk mendaftar di MATAN amat mengalakkan, namun demikian kami tidak dapat menerima kemasukan mereka kerana tempat yang amat terhad.
Atas keperluan tempat yang lebih besar dan selesa, kami merancang untuk membina bangunan empat tingkat di atas tanah milik MATAN yang berkeluasan 2 ekar yang merangkumi ruang pejabat, ruang tetamu, dewan belajar, asrama, dapur, dewan makan dan sebagainya. Untuk melengkapkan lagi keperluan sistem tarbiah di MATAN, kami juga merancang membina sebuah surau yang mampu menampung 500 jemaah. Untuk kos keseluruhan pembinaan ini kami mengangarkan RM2 juta bagi menjayakan apa yang dirancang. 
Tanpa bantuan dan sokongan para dermawan islam seperti Tuan/Puan, kami warga MATAN tidak mampu memenuhi permintaan masyarakat yang berhasrat untuk menghantar anak-anak mereka ke MATAN serta tidak mampu menyediakan keselesaan tempat tinggal dan sebagainya untuk pelajar yang sedia ada.
Segala jasa baik Tuan/Puan, Di sudahi dengan maksud ayat "dan apa jua yang kamu dermakan dari harta yang halal, akan disempurnakan (balasan pahalanya) kepada kamu, dan (balasan baik) kamu (itu pula) tidak dikurangkan." al-Baqarah:272
Untuk menjayakan apa yang dirancangkan ini kami menyeru semua umat islam berganding bahu bersama membantu menjayakan rancangan ini.
Bagi urusan pemberian sumbangan,Tuan/Puan boleh datang sendiri atau masukkan ke akaun BANK ISLAM(0705-2010-0077-94) @ CIMB ISLAMIK [0740-0000-6551-00] @ MAYBANK [5573-2605-0364] atas nama ma’had ini.
Sekian,Wassalam.

Kamis, 05 Juli 2012

Hadis ke-3

Dari Abu Abdirrohman Abdulloh bin Umar bin Khoththob rodhiyallohu ‘anhuma, dia berkata “Aku pernah mendengar Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda: ’Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu: Bersaksi tiada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, mengeluarkan zakat, mengerjakan haji ke Baitulloh, dan berpuasa pada bulan Romadhon.”(HR.Bukhori dan Muslim)

Kedudukan Hadits
Hadits ini merupakan hadits yang agung karena menyebutkan tonggak-tonggak Islam atau yang disebut dengan Rukun Islam. Berpangkal dari kelima rukun tersebut Islam dibangun.

Macam-macam penggunaan istilah Islam

Istilah islam digunakan dalam dua bentuk, yaitu:

1. Islam ‘Am berarti berserah diri kepada Allah dengan cara bertauhid, tunduk kepada-Nya dalam bentuk ketaatan serta bersih dan benci dari syirik dan penganutnya. Islam dalam pengertian ini merupakan ke-Islam-an makhluk secara umum tak seorangpun keluar dari ketentuan ini baik suka atau-pun terpaksa. Islam seperti ini-lah Islam yang diajarkan oleh seluruh rasul.

2. Islam Khos berarti Islam yang dibawa oleh Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam, yaitu: mencakup Islam dengan makna ‘am yang sesuai dengan tuntunan Muhammad shallallaahu álaihi wa sallam. Jika istilah Islam datang secara mutlaq maka maksudnya adalah Islam khos.

Syahadatain 
Syahadat tidaklah sah sehingga terkumpul padanya tiga hal: keyakinan hati, ucapan lisan dan menyampaikan kepada orang lain. Dalam kondisi tertentu terkadang diperbolehkan untuk tidak menyampaikan kepada orang lain. Makna syahadat “la ilaha illa’llahu” adalah menafikan hak disembah pada selain Allah dan menetapkan hanya Allah-lah yang berhak untuk disembah. Konsekuensinya harus mentauhidkan Allah dalam ibadah, oleh karena itu kalimat tersebut dinamakan sebagai kalimat tauhid.

Makna syahadat “Muhammad Rasulullah” adalah meyakini dan menyatakan bahwa Muhammad bin Abdillah adalah benar-benar utusan Allah yang mendapatkan wahyu berupa Kalamullah untuk disampaikan kepada manusia seluruhnya. Dan dia adalah penutup para Rasul. Konsekuensi dari syahadat ini yaitu membenarkan beritanya, mentaati perintahnya, menjauhi larangannya dan beribadah kepada Allah hanya dengan syar’iatnya .

Utusan Allah dari kalangan manusia mendapatkan wahyu melalui utusan Allah dari kalangan malaikat maka tidak-lah mereka langsung mendapatkan dari Allah kecuali pada sebagian, sesuai dengan kehendak Allah.

Hukum meninggalkan rukun Islam.
Hukum meninggalkan Rukun Islam dapat diperinci sebagai berikut:

1. Meninggalkan syahadatain hukumnya kafir secara ijma’.

2. Meninggalkan shalat hukumnya kafir menurut jumhur ulama atau ijma’ sahabat.

3. Meninggalkan rukun yang lainnya hukumnya tidak kafir menurut jumhur ulama.

Meninggalkan disini dalam arti tidak mengerjakan dengan meyakini kebenarannya dan kewajibannya, adapun jika tidak meyakini kebenarannya dan kewajibannya maka hukumnya kafir walaupun mengerjakannnya.

Pembagian Rukun Islam 
Rukun islam terbagi menjadi empat kelompok yaitu:
1. Amal i’tiqodiyah yaitu syahadataian
2. Amal badaniyah yaitu solat dan puasa.
3. Amal maliyah yaitu Zakat.
4. Amal badaniyah dan maliyah yaitu haji.

Hadis ke-4

Dari Abu Abdirrohman, Abdulloh bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu, dia berkata: ”Rosululloh shollallohu ‘alaihi wasallam telah bersabda kepada kami dan beliau adalah orang yang selalu benar dan dibenarkan: ’Sesungguhnya setiap orang diantara kamu dikumpulkan kejadiannya di dalam rahim ibunya selama empat puluh hari dalam bentuk nuthfah(air mani), kemudian menjadi ‘alaqoh(segumpal darah) selama waktu itu juga (empat puluh hari), kemudian menjadi mudhghoh(segumpal daging) selama waktu itu juga, lalu diutuslah seorang malaikat kepadanya, lalu malaikat itu meniupkan ruh padanya dan ia diperintahkan menulis empat kalimat: Menulis rizkinya, ajalnya, amalnya, dan nasib celakanya atau keberuntungannya. Maka demi Alloh yang tiada tuhan selain-Nya, sesungguhnya ada diantara kamu yang melakukan amalan penduduk surga dan amalan itu mendekatkannya ke surga sehingga jarak antara dia dan surga kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapkan atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk neraka sehingga dia masuk ke dalamnya. Dan sesungguhnya ada seseorang diantara kamu yang melakukan amalan penduduk neraka dan amal itu mendekatkannya ke neraka sehingga jarak antara dia dan neraka hanya kurang satu hasta, namun karena taqdir yang telah ditetapka atas dirinya, lalu dia melakukan amalan penduduk surga sehingga dia masuk ke dalamnya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Kedudukan Hadits

Hadits ini merupakan pangkal dalam bab taqdir, yaitu tatkala hadits tersebut menyebutkan bahwa taqdir janin meliputi 4 hal: rizqinya, ajalnya, amalnya, dan bahagia atau celakanya. 

Perkembangan Janin

Janin sebelum sempurna menjadi janin melalui 3 fase, yaitu: air mani, segumpal darah, kemudian segumpal daging. Masing-masing lamanya 40 hari. 

Janin sebelum berbentuk manusia sempurna juga mengalami 3 fase, yaitu:

1. Taswir, yaitu digambar dalam bentuk garis-garis, waktunya setelah 42 hari.

2. Al-Khalq, yaitu dibuat bagian-bagian tubuhnya.

3. Al-Barú, yaitu penyempurnaan.

Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr: 24, mengisyaratkan ketiga proses tersebut. 

Hubungan Ruh dengan Jasad

Ruh dengan jasad memiliki keterkaitan yang berbeda sesuai dengan keadaan dan waktunya dalam 4 bentuk hubungan:

1. Tatkala di rahim. Hubungan keduanya lemah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad.

2. Tatkala di alam dunia. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada jasad. Sementara hubungan keduanya sesuai dengan kebutuhan kehidupan jasad.

3. Tatkala di alam barzah. Kehidupan ketika itu dominasinya ada pada ruh.

4. Tatkala di alam akhirat. Kehidupan ketika itu sempurna pada keduanya. Pada masa inilah hubungan keduanya sangat kuat. 

Macam-macam Penulisan Taqdir

Allah menulis taqdir dalam 4 bentuk, yaitu:

1. Taqdir saabiq, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk di lauh mahfudz 50 ribu tahun sebelum penciptaan bumi dan langit.

2. Taqdir úmri, yaitu penulisan taqdir bagi janin ketika berusia 4 bulan.

3. Taqdir sanawi, yaitu penulisan taqdir bagi seluruh makhluk setiap tahunnya pada malam lailatul qodr.

4. Taqdir yaumi, yaitu penulisan terhadap setiap kejadian setiap harinya.
Keempat macam penulisan taqdir tersebut memungkinkan terjadinya perubahan kecuali pada taqdir sabiq. Sebagaimana firman Allah: (Surat Ar-Ra’d: 39). 

Taqdir Allah sama sekali bukan sebagai pemaksaan, Allah lebih tahu terhadap hambanya yang pantas mendapatkan kebaikan dan yang tidak.

Buah Iman kepada Taqdir

Beriman kepada taqdir akan menghasilkan rasa takut yang mendalam akan nasib akhir hidupnya dan menumbuhkan semangat yang tinggi untuk beramal dan istiqomah dalam ketaatan demi mengharap khusnul khatimah.

Beriman kepada taqdir bukanlah alasan untuk bermaksiat dan bermalas-malasan. Hati orang-orang yang shalih diantara 2 keadaan, yaitu khawatir tentang apa yang telah ditulis baginya atau khawatir tentang apa yang akan terjadi pada akhir hidupnya. Keadaan pertama hatinya para sabiqin dan keadaan ke-2 hatinya para abrar. 


Rahasia Khusnul Khatimah dan Suúl Khatimah


Termasuk diantara kesempurnaan Allah yaitu menciptakan hamba dengan berbagai macam keadaan. Diantara hambanya ada yang khusnul khatimah sebagai anugrah semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan kejahatan dan diantara hambanya ada yang suúl khatimah sebagai keadilan semata setelah mengisi lembaran hidupnya penuh dengan ketaatan. Hamba pada jenis yang terakhir ini bisa jadi pada hakikatnya tersimpan dalam hatinya kejahatan yang kemudian muncul secara lahir pada akhir hayatnya. Karena dalam suatu riwayat Rasulullah menyatakan bahwa amalan baik tersebut sekedar yang tampak pada manusia.

Rabu, 04 Juli 2012

Sifat 20

Adapun yang wajib bagi Ketuhanan itu bersifat dengan empat sifat:

1. Sifat Nafsiyah, iaitu Wujud

2. Sifat Salbiyah iaitu, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil khawaditsi, Qiyamuhu binafsihi dan Wahdaniat

3. Sifat Ma’ani, iaitu, Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Sami’, Bashir dan Kalam

4. Sifat Ma’nawiyah, iaitu Qadirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun, Sami’un, Bashirrun dan Muttakalimuun

Dibahagi lagi menjadi dua sifat (Pendekatan secara nafi dan isbat)

1. Sifat Istighna’ iaitu, Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatuhu lil hawadits, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttakallimun

2. Sifat Iftikor ilaihi, iaitu Qudrat, Iradat, Ilmu, Hayat, Kodirun, Muridun, ‘Alimun, Hayyun dan Wahdaniah

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

Bahagian I: Sifat Nafsiyyah:

Wujud, ertinya ada, yang ada itu dzat Allah Ta’ala, lawannya ‘Adam, ertinya tiada yaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada kerana jikalau Allah Ta’ala itu tiada nescaya tiadalah perubahan pada alam ini. Alam ini jadilah statik (tak ada masa, rasa dll), dan tiadalah diterima ‘aqal jika semua itu (perubahan) terjadi dengan sendirinya.

Jikalau alam ini jadi dengan sendirinya nescaya jadilah bersamaan pada suatu pekerjaan atau berat salah satu maka sekarang alam ini telah nyata adanya sebagaimana yang kita lihat sekarang ini dan teratur tersusun segala pekerjaannya maka menerima lah aqal kita wajib adanya Allah Ta’ala dan mustahil lawannya tiada. Adapun dalilnya iaitu firmanNya dalam Al Qur’an:

Allahu kholiqu kullu syai’inertinya, “Allah Ta’ala jualah yang menjadikan tiap-tiap sesuatu.”

Adapun Wujud itu sifat Nafsiyah ada itulah dirinya hak Ta’ala. Adapun ta’rif sifat nafsiyah itu: Hiya huwa wala hiya ghoiruku, ertinya, sifat inilah dzat hak Ta’ala, tiada ia lain daripadanya yakni sifat pada lafadz dzat pada makna

Adapun Hakikat sifat nafsiyah itu : Hiya lhalul wajibatu lizzati maadaamati azzatu ghoiru mu’alalahi bi’illati, ertinya: hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu tiada dikeranakan dengan suatu kerana yakni adanya iaitu tiada kerana jadi oleh sesuatu dan tiada Ia terjadi dengan sendirinya dan tiada Ia menjadikan dirinya sendiri dan tiada Ia berjadi-jadian.

Adapun Wujud itu dikatakan sifat Nafsiyah kerana wujud menunjukkan sebenar-benar dirinya dzat tiada lainnya dan tiada boleh dipisahkan wujud itu lain daripada dzat seperti sifat yang lain-lain.

Adapun Wujud itu tiga bahagian:

1. Wujud Haqiqi, iaitu dzat Allah Ta’ala maka wujud-Nya itu tiada permulaan dan tiada kesudahan maka wujud itu bersifat Qadim dan Baqa’, inilah wujud sebenarnya

2. Wujud Mujazi, iaitu dzat segala makhluk maka wujudnya itu ada permulaan dan ada kesudahan tiada bersifat Qadim dan Baqa’, sebab wujudnya itu dinamakan wujud Mujazi kerana wujudnya itu bersandarkan Qudrat Iradat Allah Ta’ala

3. Wujud ‘Ardy, iaitu dzat ‘Arodul wujud maka wujudnya itu ada permulaan dan tiada kesudahan seperti ruh, syurga, neraka, Arasy, Kursi dan lain-lain

Adapun yang Maujud selain Allah Ta’ala dua bahagian

1. Maujud dalam ‘alam syahadah, iaitu yang di dapat dilihat dengan pancaindera yang lima seperti langit, bumi, kayu, manusia, binatang dan lain-lain

2. Maujud di dalam ‘alam ghaib yang tiada didapat dengan pancaindera yang lima tetapi didapat dengan nur iman dan Kasyaf kepada siapa-siapa yang dikurniakan Allah Ta’ala seperti Malaikat, Jin, Syaitan, Nur dan lain-lain.

Adapun segala yang Maujud itu lima bahagian:

1. Maujud pada Zihin iaitu ada pada ‘aqal

2. Maujud pada Kharij iaitu ada kenyataan bekas

3. Maujud pada Khayal iaitu seperti bayang-bayang dalam air atau yang di dalam mimpi

4. Maujud pada Dalil iaitu ada pada dalil seperti asap tanda ada api

5. Maujud pada Ma’rifat iaitu dengan pengenalan yang putus tiada dapat diselingi lagi terus Ia Ma’rifat kepada Allah Ta’ala

Membicarakan Wujud-Nya dengan jalan dalil:

1. Dalil yang didapat dari Khawas (pancaindera) yang lima tiada dapat didustakan

2. Dalil yang didapat dari Khabar Mutawatir tiada dapat didustakan

3. Dalil yang didapat daripada ‘Aqal tiada dapat didustakan

4. Dalil yang didapat daripada Rasulullah tiada dapat didustakan

5. Dalil yang didapat daripada firman Allah Ta’ala tiada dapat didustakan

.

Bahagian II: Sifat Salbiyyah

Adapun hakikat sifat Salbiyyah itu: wahiya dallat ‘alallafiy maalaa khaliyqu billahi ‘aza wajalla, ertinya barang yang menunjukkan atas menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala iaitu lima sifat:

1. QIDAM, ertinya Sedia

2. BAQA’ ertinya Kekal,

3. MUKHALAFATUHU LIL HAWADITS ertinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, ertinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendiriNya.

5. WAHDANIAH, ertinya Esa

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. QIDAM, ertinya Sedia ada

Adapun hakikat Qidam ibarat dari menafikan ada permulaan bagi Wujud-Nya yakni tiada permulaan, lawannya Huduth ertinya baharu iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia baharu kerana jikalau Ia baharu nescaya jadilah Wujud-Nya itu wujud yang harus, tiadalah Ia wajibal wujud maka sekarang telah terdahulu wajibal wujud baginya maka menerimalah aqal kita wajib baginya bersifat Qadim dan mustahil lawannya baharu , adapun dalilnya firmannya dalam Al Qur’an: huwal awwalu, ertinya Ia juga yang awal.

Adapun Qadim nisbah pada nama empat perkara:

a. Qadim Haqiqi, iaitu dzat Allah Ta’ala

b. Qadim Sifati, iaitu sifat Allat Ta’ala

c. Qadim Idhofi, iaitu Qadim yang bersandar seperti dahulu bapa daripada anak

d. Qadim Zamani, iaitu masa yang telah lalu sekurang-kurangnnya setahun

2. BAQA’ ertinya Kekal

Adapun hakikat Baqa’ itu ibarat menafikan ada kesudahan bagi Wujud-Nya, yakni tiada kesudahan, lawannya Fana’ ertinya binasa iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia binasa, jikalau Ia binasa jadilah Wujud-Nya itu wujud yang baharu, apabila Ia baharu tiadalah Ia bersifat Qadim maka sekarang telah terdahulu bagi-Nya wajib bersifat Qadim maka menerimalah aqal kita wajib bagi-Nya bersifat Baqa dan mustahil lawannya binasa, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wayabqo wajhu robbikauzuljalali wal ikrom, ertinya kekal dzat Tuhan kamu yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.

Adapun yang Kekal itu dua bahagian:

a. Kekal Haqiqi, iaitu dzat dan sifat Allah Ta’ala

b. Kekal Ardy, iaitu kekal yang dikekalkan, menerima hukum binasa jikalau dibinasakan Allah Ta’ala, kerana ia sebahagian daripada mumkinun, tetapi tiada dibinasakan maka kekallah ia, maka kekalnya itu dinamakan kekal ‘Ardy, seperti ruh, arasy, kursi, kalam, lauh mahfudh, syurga, neraka, bidadari dan telaga nabi.

3. MUKHALAFATUHU LIL HAWADITSI ertinya Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu

Adapun Hakikat Mukhalafatuhu lil hawadits itu diibaratkan menafikan dzat dan sifat dan af’al Allah Ta’ala dengan segala sesuatu yang baharu, yakni tiada bersamaan dengan segala yang baharu, lawannya Mumassalatuhu lil hawadits, ertinya bersamaan dengan segala sesuatu yang baharu. Tiada diterima oleh aqal dikatakan Allah Ta’ala itu bersamaan dzat-Nya dan sifat-Nya dan af’al-Nya dengan segala yang baharu, kerana jikalau bersamaan dengan segala yang baharu maka tiadalah Ia bersifat Qadim dan Baqa’, sebab segala yang baharu menerima hukum binasa, maka sekarang telah terdahulu wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Qadim dan Baqa’, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat mukhalafatuhu lil hawadits, dan mustahil lawannya Mumasalatu lil hawadits, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an:

laisa kamitslihi syai’un wa huwa ssami’ul bashir, ertinya tiada seumpama Allah Ta’ala dengan segala sesuatu dan Ia mendengar dan melihat.

Adapun bersalahan dzat Allah Ta’ala dengan dzat yang baharu kerana dzat Allah Ta’ala bukan jirim atau jisim dan bukan jauhar atau ‘aradh dan tiada dijadikan, tiada bertempat, tiada berjihat, tiada bermasa atau dikandung masa dan tiada beranak atau diperanakkan.

Bersalahan sifat Allah Ta’ala dengan sifat yang baharu kerana sifat Allah Ta’ala Qadim dan ‘Aum takluknya, seperti Sami’ Allah Ta’ala takluk pada segala yang maujud.

Adapun sifat yang baharu itu tiada ia Qadim dan tiada ‘Aum takluknya, tetapi takluk pada setengah perkara jua seperti yang baharu mendengar ia pada yang berhuruf dan bersuara dan yang tiada berhuruf dan bersuara tiada ia mendengar atau yang jauh atau yang tersembunyi seperti gerak-gerak yang dalam hati dan begitu jua sifat-sifat yang lain tiada serupa dengan sifat Allah Ta’ala.

Adapun bersalahan perbuatan Allah Ta’ala dengan perbuatan yang baharu kerana perbuatan Allah Ta’ala itu memberi bekas dan tiada dengan alat perkakas dan tiada dengan minta tolong dan tiada mengambil faedah dan tiada yang sia-sia.

Adapun perbuatan yang baharu tiada memberi bekas dan dengan alat perkakas atau dengan minta tolong dan mengambil faedah.

4. QIYAMUHU BINAFSIHI, ertinya Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya

Adapun hakikat Qiyamuhu binafsihi itu ibarat daripada menafikan berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia, yakni tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan tiada berkehendak kepada yang menjadikannya.

Mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan tiada berdiri dengan sendiriNya, kerana Ia zat bukan sifat, jikalau Ia sifat, maka berkehendak kepada tempat berdiri kerana sifat itu tiada boleh berdiri dengan sendirinya.

Dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Ia kerana Ia Qadim, jikalau berkehendak Ia kepada yang menjadikan Dia, maka jadilah Ia baharu, apabila ia baharu tiadalah ia bersifat Qadim dan Baqa’ dan Mukhalafatuhu lil hawadits.

Maka sekarang menerimalah aqal kita, wajib diterima oleh aqal, bagi Allah Ta’ala itu bersifat Qiyamuhubinafsihi dan mustahil lawannya An-laayakuunu ko’imambinafsihi, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Innallaha laghniyyun ‘anil ‘alamiin, ertinya Allah Ta’ala itu terkaya daripada sekalian alam.

Adapun segala yang Maujud menurut berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia itu empat bahagian:

a. Tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia dan tiada berkehendak kepada tempat berdiri, yaitu zat Allah Ta’ala

b. Berdiri pada zat Allah Ta’ala dan tiada berkehendak kepada yang menjadikan Dia, iaitu sifat Allah Ta’ala

c. Tiada berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia iaitu segala jirim yang baharu

d. Berkehendak kepada tempat berdiri dan berkehendak kepada yang menjadikan dia iaitu segala ‘aradh yang baharu

5. WAHDANIAH, ertinya Esa

Adapun hakikat Wahdaniah itu ibarat menafikan kam muttasil (berbilang-bilang atau bersusun-susun atau berhubung-hubung) dan kam mumfasil (bercerai-cerai banyak yang serupa) pada zat, pada sifat, dan pada af’al.

Lawannya An-yakunu wahidan, ertinya tiada ia esa. Mustahil tiada diterima oleh akal sekali-kali dikatakan tiada Ia Esa, kerana jikalau tiada Ia Esa tiadalah ada alam ini kerana banyak yang memberi bekas.

Seperti dikatakan ada dua atau tiga tuhan, kata tuhan yang satu keluarkan matahari dari barat, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari timur, dan kata tuhan yang satu lagi keluarkan dari utara atau selatan, kerana tiga yang memberi bekas. Tentu kalau tuhan yang satu itu mengeluarkan matahari itu dengan sekehendakknya umpamanya disebelah barat, tentu pula tuhan yang lain meniadakkannya dan mengadakan lagi menurut kehendaknya umpamanya di sebelah timur atau utara atau selatan, kerana tiga-tiga tuhan itu berkuasa mengadakan dan meniadakan maka kesudahannya matahari itu tiada keluar.

Maka sekarang kita lihat dengan mata kepala kita sendiri bagaimana keadaan atau perjalanan di dalam alam ini semuanya teratur dengan baiknya maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal Wahdaniah bagi Allah Ta’ala dan mustahil lawannya berbilang-bilang atau bercerai-cerai.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: Qul huwallahu ahad, ertinya katakanlah oleh mu (Muhammad) Allah Ta’ala itu Esa, yakni Esa zat dan Esa sifat dan Esa Af’al.

Adapun Wahdaniah pada zat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun seperti dikatakan zat Allah Ta’ala itu berdarah, berdaging dan bertulang urat, atau dikatakan zat Allah Ta’ala itu kejadian daripada anasir yang empat.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa, umpama dikatakan ada zat yang lain seperti zat Allah Ta’ala yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil itulah yang hendak kita nafikan pada zat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua perkara ini maka barulah dikatakan Ahadiyyatuzzat, yakni Esa dzat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada sifat menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berbilang-bilang atau bersusun-susun sifat, seperti dikatakan ada pada Allah Ta’ala dua Qudrat atau dua Ilmu atau dua Sami’ yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak yang sebangsa atau serupa seperti dikatakan ada Qudrat yang lain atau Ilmu yang lain seperti Qudrat dan Ilmu Allah Ta’ala.

Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada sifat Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua itu maka baharulah dikatakan Ahadiyyatussifat, yakni Esa sifat Allah Ta’ala.

Adapun Wahdaniah pada af’al menafikan dua perkara:

a. Menafikan Kam muttasil, iaitu menafikan berhubung atau minta tolong memperbuat suatu perbuatan, seperti dikatakan Allah Ta’ala jadikan kuat pada nasi mengenyangkan dan kuat pada air menghilangkan dahaga dan kuat pada api membakar dan kuat pada tajam memutuskan yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

b. Menafikan Kam mumfasil, iaitu menafikan bercerai-cerai banyak perbuatan yang memberi bekas, seperti dikatakan ada perbuatan yang lain memberi bekas seperti perbuatan Allah Ta’ala, yakni tiada sekali-kali seperti yang demikian itu.

Maka Kam muttasil dan Kam mumfasil inilah yang hendak kita nafikan pada af’al Allah Ta’ala, apabila sudah kita nafikan yang dua ini maka baharulah kita dikatakan Ahadiyyatull af’al, yakni Esa perbuatan Allah Ta’ala.

Bahagian III: Sifat Ma’ani

Adapun hakikat sifat Ma’ani itu: wahiya kullu sifatu maujudatun qo’imatun bimaujuudatun aujabat lahu hukman, ertinya tiap-tiap sifat yang berdiri pada yang maujud (wajibalwujud / zat Allah Ta’ala) maka mewajibkan suatu hukum (iaitu Ma’nawiyah)

Sifat Ma’ani ini maujud pada zihin dan maujud pula pada kharij, ada tujuh perkara:

1. QUDRAT ertinya Kuasa, Takluk pada segala mumkinun

2. IRADAT ertinya Menentukan, takluk pada segala mumkinun

3. ILMU ertinya Mengetahui, takluk pada segala yang wajib, mustahil dan ja’iz bagi aqal.

4. HAYAT ertinya Hidup, tiada takluk, tetapi syarat bagi aqal kita menerima adanya sifat-sifat yang lain.

5. SAMA’ ertinya Mendengar, takluk pada segala yang maujud.

6. BAShAR ertinya Melihat, takluk pada segala yang maujud.

7. KALAM ertinya Berkata-kata

~~~~~~~ oOo ~~~~~~~

1. Qudrat ertinya Kuasa

Adapun hakikat Qudrat itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mengadakan dan meniadakan bagi segala mumkin muafakat dengan Iradat-Nya. Adapun erti mumkin itu barang yang harus adanya atau tiadanya

Adapun mumkin itu empat bahagian:

a. Mumkin Maujuud ba’dal ‘adum, iaitu mumkin yang pada masa sekarang, dahulu tiada, seperti: langit, bumi dan kita semuanya.

b. Mumkin Ma’dum ba’dal wujud, iaitu mumkin yang tiada pada masa sekarang ini dahulunya ada, seperti: nabi Adam as, dan datok-datok nenek kita yang sudah tiada.

c. Mumkin sayuzad, iaitu mumkin yang akan datang seperti hari kiamat, syurga dan neraka.

d. Mumkin Ilmu Allah annahu lamyujad, iaitu mumkin yang di dalam Ilmu Allah Ta’ala, tetapi tiada dijadikan seperti hujan emas, Air laut rasanya manis, dan banyak yang lain lagi.

Lawannya ‘Ujdzun ertinya lemah, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu lemah, kerana jikalau Ia lemah nescaya tiadalah ada alam ini kerana yang lemah itu tiada dapat memperbuat suatu perbuatan. Maka sekarang alam ini telah nyata adanya bagaimana yang kita lihat sekarang ini, maka menerimalah aqal kita wajib diterima aqal, bagi-Nya bersifat Qudrat dan mustahil lawannya ‘Ujdzun.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu ‘ala kulli sai’in-qodir, ertinya Allah Ta’ala itu berkuasa atas tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Qudrat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Qudrat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan lemah.

Qudrat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan lemah.

Qudrat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

Qudrat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.

Qudrat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

2. Iradat ertinya Menentukan/berkehendak

Adapun hakikat Iradat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia menentukan sekalian mumkin adanya atau tiadanya, muafakat dengan Ilmu-Nya.

Adapun Iradat Allah Ta’ala menentukan enam perkara:

a. Menentukan mumkin itu Ada atau tiadanya

b. Menentukan Tempat mumkin itu

c. Menentukan Jihat mumkin itu

d. Menentukan Sifat mumkin itu

e. Menentukan Qadar mumkin itu

f. Menentukan Masa mumkin itu

Lawannya Karahat ertinya tiada menentukan atau tiada berkehendak, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Allah Ta’ala itu tiada menentukan atau tiada berkehendak, kerana jikalau tiada Ia menentukan atau tiada Ia berkehendak mengadakan alam ini atau meniadakan alam ini nescaya tiadalah baharu (Berubah) alam ini maka sekarang alam ini telah nyata adanya perubahan, ada siang ada malam, ada yang datang ada yang pergi, seperti yang telah kita lihat dengan mata kepala kita sendiri, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Iradat dan mustahil lawannya Karahat.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: fa’allu limaa yuriy d’, ertinya berbuat Allah Ta’ala dengan barang yang ditentukan-Nya.

Adapun Iradat dengan amar dan nahi itu tiada berlazim kerana:

Ada kalanya disuruh tetapi tiada dikehendaki seperti Abu jahal, Abu lahab dan segala pengikutnya. Ada kalanya disuruh dan dikehendaki seperti Abu Baqa’r dan segala sahabat yang lain. Ada kalanya tiada disuruh dan tiada dikehendaki seperti kafir yang banyak. Adakalanya tiada disuruh tetapi dikehendaki seperti mengerjakan yang haram dan makruh seperti Nabi Adam as dan Hawa.

Tetaplah dalam Hakikat Iradat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Iradat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan Karahat.

Iradat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan Karahat.

Iradat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

Iradat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu, dan tiada mengambil faedah.

Iradat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

3. Ilmu ertinya Mengetahui

Adapun hakikat Ilmu itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala maka dengan Dia Mengetahui pada yang wajib, pada yang mustahil, dan pada yang harus.

Adapun yang wajib itu zat dan sifatNya, maka mengetahui Ia zatNya dan sifatNya yang Kamalat.

Adapun yang mustahil itu iaitu yang menyekutui ketuhanannya atau yang kekurangan baginya maka mengetahui Ia tiada yang menyekutui bagi ketuhanan-Nya dan yang kekurangan pada-Nya.

Adapun yang harus itu sekalian alam ini maka mengetahui Ia segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi dan tiada terdinding yang dalam Ilmu-Nya sebesar jarah jua pun, semuanya diketahui-Nya dengan Ilmu-Nya yang Qadim

Lawannya Jahil, ertinya bodoh, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia Jahil atau bodoh kerana jikalau ia Jahil atau bodoh nescaya tiadalah teratur atau tersusun segala pekerjaan di dalam alam ini maka sekarang alam ini telah teratur dan tersusun dengan baiknya, maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Ilmu dan mustahil lawannya Jahil atau bodoh.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu bikulli syai’in ‘alimun, ertinya Allah Ta’ala mengetahui tiap-tiap sesuatu.

Tetaplah dalam Hakikat Ilmu itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Ilmu Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan jahil.

Ilmu Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan jahil.

Ilmu Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

Ilmu Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

Ilmu Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

4. Hayat ertinya Hidup

Adapun hakikat Hayat itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia zohirlah sifat yang lain-lain.

Lawannya maut ertinya mati, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia mati kerana jikalau Ia mati nescaya tiadalah ada sifat yang lain seperti Qudrat, Iradat dan Ilmu maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat hayat dan mustahil lawannya maut.

Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: huwal hayyuladzii laa yamuut, ertinya Dia yang Hidup yang tiada mati.

Tetaplah dalam Hakikat Hayat itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Hayat Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan maut.

Hayat Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan maut.

Hayat Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal.

Hayat Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

Hayat Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain)

5. Sami’ ertinya Mendengar

Adapun hakikat Sami’ itu iaitu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia mendengar segala yang maujud sama ada yang maujud itu Qadim atau Muhadas.

Adapun maujud yang Qadim iaitu dzat dan Sifat-Nya, maka mendengar Ia akan Kalam-Nya yang tiada berhuruf dan bersuara, dan yang muhadas iaitu sekalian alam ini maka mendengar Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang akan diadakan lagi, maka tiada terdinding pendengarannya oleh sebab jauh atau tersembunyi.

Lawannya Sumum, ertinya pekak atau tuli iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia pekak atau tuli kerana jikalau Ia pekak atau tuli nescaya tiadalah dapat Ia memperkenankan seruan makhluk-Nya padahal Menyuruh Ia kepada sekalian makhluk-Nya dengan meminta seperti firman-Nya dalam Al Qur’an: ud’uunii astajib lakum, ertinya mintalah olehmu kepadaKu nescaya Aku perkenankan.

Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala bersifat Sami’ dan mustahil lawannya Sumum, pekak atau tuli, adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wallahu sami’un ‘alimun, ertinya Allah Ta’ala itu yang mendengar dan yang mengetahui .

Tetaplah dalam Hakikat Sami’ itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Sami’ Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan pekak.

Sami’ Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan pekak.

Sami’ Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

Sami’ Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

Sami’ Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

6. Bashir ertinya Melihat

Adapun hakikat Bashir itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia melihat segala yang maujud sama ada yang maujud itu Qadim atau muhadas.

Adapun maujud yang Qadim itu dzat dan sifat-Nya, maka melihat Ia akan dzat-Nya yang tiada berupa dan berwarna dan sifat-Nya yang kamalat.

Adapun maujud yang muhadas itu sekalian alam ini maka melihat Ia akan segala perkara yang ada pada masa sekarang ini, segala perkara yang sudah tiada dan segala perkara yang lagi akan diadakan. Tiada terdinding yang pada penglihatan-Nya oleh sebab jauh atau sangat halusnya atau sangat kelamnya.

Lawannya ‘Umyun, ertinya buta, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia buta kerana jikalau Ia buta maka jadilah Ia kekurangan. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Taa’la itu bersifat Bashir dan mustahil lawannya ‘Umyun atau buta

Adapun dalilnya firman-Nya dalam AlQur’an: wallahu bashirun bimaa ta’maluun, ertinya Allah Ta’ala itu melihat apa yang kamu kerjakan.

Tetaplah dalam Hakikat Bashir itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Bashir Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan buta.

Bashir Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan buta.

Bashir Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, dan tiada terdinding.

Bashir Allah Ta’ala itu Qo’imumbizzatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

Bashir Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam mumfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

7. Kalam ertinya Berkata-kata

Adapun hakikat Kalam itu satu sifat yang Qadim lagi azali yang sabit berdiri pada zat Allah Ta’ala, maka dengan Dia berkata-kata pada yang wajib seperti firman-Nya: fa’lam annahu laailahaillalah, ertinya ketahui oleh mu bahawasanya tiada tuhan melainkan Allah, dan berkata-kata pada yang mustahil dengan firman-Nya: laukana fiyhima aa lihatun illallah lafasadatu, ertinya jikalau ada tuhan yang lain selain daripada Allah maka binasalah segala-galanya. dan berkata pada yang harus dengan firman-Nya: wallahu kholaqokum wamaa ta’maluun, ertinya Allah Ta’ala jua Yang menjadikan kamu dan barang perbuatan kamu.

Lawannya Bukmum, ertinya kelu atau bisu iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali dikatakan Ia bisu atau kelu kerana jikalau Ia bisu atau Kelu tiadalah dapat Ia menyuruh atau mencegah dan menceritakan segala perkara seperti hari kiamat, syurga, neraka dan lain-lain. Maka sekarang suruh dan cegah itu ada pada kita seperti suruh kita sembahyang dan cegah kita berbuat ma’siat. Maka menerimalah aqal kita wajib bagi Allah Ta’ala itu bersifat Kalam dan mustahil lawannya bukmum, kelu atau bisu. Adapun dalilnya firman-Nya dalam Al Qur’an: wa kallamallaahu muusa taklimaan, ertinya berkata-kata Allah Ta’ala dengan nabi Musa as dengan sempurna kata.

Adapun Kalam Allah Ta’ala itu satu sifat jua tiada Ia berbilang tetapi berbagi-bagi dipandang dari segi perkara yang dikatakan-Nya apabila Ia menunjukkan kepada suruh maka dinamakan amar seperti suruh sembahyang dan puasa dan lain-lain, jika Ia menunjukkannya kepada cegah atau larangan maka dinamakan nahi seperti cegah berjudi., minum arak dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada cerita dinamakan akhbar, seperti cerita raja Fir’aun , Namrudz, dan lain-lain. jika Ia menunjukkan pada khabar gembira dinamakan Wa’ad seperti balas syurga pada orang beriman dan ta’at dan lain-lain, jika Ia menunjukkan pada khabar menakutkan maka dinamakan Wa’id, seperti janji balas neraka dan azab bagi orang yang berbuat maksiat dan kafir.

Tetaplah dalam Hakikat Kalam itu difahami dengan memahami sifat Salbiyah terlebih dahulu untuk menafikan apa-apa yang tiada patut dan tiada layak pada dzat, pada sifat dan pada af’al Allah Ta’ala.

Kalam Allah Ta’ala Qadim atau sedia, tiada diawali dengan kelu.

Kalam Allah Ta’ala Baqa’ atau Kekal, tiada diakhiri dengan kelu.

Kalam Allah Ta’ala itu Mukhalafatuhu lil hawadits, atau bersalahan dengan yang baharu, maha suci dari sekalian misal, tiada terdinding dan tiada berhuruf atau bersuara.

Kalam Allah Ta’ala itu Qo’imumbizaatihi atau berdiri pada zat Allah Ta’ala, tiada meminta tolong pada sesuatu.

Kalam Allah Ta’ala itu Wahdaniyah, atau Esa, tiada kam muttassil (Berhubung/bersusun) dan tiada kam munfasil (tiada bercerai dengan sifat yang lain).

Bahagian IV: Sifat Ma’nawiyyah

Adapun hakikat sifat ma’nawiyah itu: hiyal halul wajibatu lidzati madaamati lidzati mu’allalati bi’illati, ertinya hal yang wajib bagi dzat selama ada dzat itu dikeranakan suatu kerana iaitu Ma’ani, umpama berdiri sifat Qudrat pada dzat maka baru dinamakan dzat itu Qadirun, ertinya Yang Kuasa, Qudrat sifat Ma’ani, Qadirun sifat Ma’nawiah maka berlazim-lazim antara sifat Ma’ani dengan sifat Ma’nawiah, tiada boleh bercerai iaitu tujuh sifat pula:

1. QADIRUN, ertinya Yang Kuasa, melazimkan Qudrat berdiri pada dzat

2. MURIIDUN, ertinya Yang Menentukan maka melazimkan Iradat yang berdiri pada dzat

3. ‘ALIMUN, ertinya Yang Mengetahui maka melazimkan ‘Ilmu yang berdiri pada dzat

4. HAYYUN, ertinya Yang Hidup melazimkan Hayyat yang berdiri pada dzat

5. SAMI’UN, ertinya Yang Mendengar melazimkan Sami’ yang berdiri pada dzat

6. BASIRUN, ertinya Yang Melihat melazimkan Basir yang berdiri pada dzat

7. MUTTAKALLIMUN, ertinya Yang Berkata-kata melazimkan Kalam yang berdiri pada dzat

Bahagian V: Sifat Istighna

Ertinya sifat Kaya, Hakikat sifat Istighna: mustaghniyun ’angkullu maa siwahu, ertinya Kaya Allah Ta’ala itu daripada tiap-tiap yang lain.

Apabila dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lain, maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sebelas (11) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sebelas (11) sifat itu maka tiadalah dapat dikatakan Kaya Allah Ta’ala daripada tiap-tiap yang lainnya.

Adapun sifat wajib yang 11 itu ialah:

Wujud, Qidam, Baqa’, Mukhalafatuhu lil hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Sami’, Bashir, Kalam, Sami’un, Bashirun dan Muttakalim.

Selain sebelas (11) sifat yang wajib itu ada tiga (3) sifat yang harus (Jaiz) yang termasuk pada sifat Istighna iaitu

1. Mahasuci dari pada mengambil faedah pada perbuatan-Nya atau pada hukum-Nya, lawannya mengambil faedah, iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau mengambil faedah tiadalah Kaya Ia daripada tiap-tiap yang lainnya kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia pada menghasilkan hajat-Nya

2. Tiada wajib Ia menjadikan alam ini. Lawannya wajib iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau wajib Ia menjadikan alam ini tiadalah Ia Kaya daripada tiap-tiap yang lainnya, kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia kepada yang menyempurnakan-Nya

3. Tiada memberi bekas suatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya. Lawannya memberi bekas iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau memberi sesuatu daripada kainat-Nya dengan kuatnya tiadalah Kaya Ia pada tiap-tiap yang lainnya kerana lazim diwaktu itu berkehendak Ia mengadakan sesuatu dengan wasitoh

Bahagian VI: Sifat Iftiqor ilahi

Ertinya sifat berkehendak: hakikat sifat Ifthiqor: wamuftaqirun ilaihi kullu maa ’adaahu, artinya berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya.

Apabila dikatakan berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya maka wajib bagi-Nya bersifat dengan sembilan (9) sifat, jikalau kurang salah satu daripada sembilan (9) sifat ini maka tiadalah dapat berkehendak tiap-tiap yang lainya kepada-Nya,

Adapun sifat wajib yang sembilan (9) itu adalah:

1. Qudrat 2. Iradat 3. Ilmu 4. Hayat 5. Qodirun 6. Muridun 7. ‘Alimun 8. Hayyun 9. Wahdaniah

Selain dari sembilan (9) sifat yang wajib itu ada dua (2) sifat yang harus termasuk pada sifat Ifthiqor:

1. Baharu sekalian alam ini. Lawannya Qodim iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau alam ini Qodim tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lainnya kepada-Nya kerana lazim ketika itu bersamaan darjat-Nya

2. Tiada memberi bekas sesuatu daripada kainatnya dengan tobi’at atau dzatnya. Lawannya memberi bekas iaitu mustahil tiada diterima oleh aqal sekali-kali kerana jikalau memberi bekas sesuatu daripada kainat dengan tobi’at niscaya tiadalah berkehendak tiap-tiap yang lain kepada-Nya kerana lazim ketika itu terkaya sesuatu daripadaNya.

Maka sekarang telah nyata pada kita bahawa dua puluh delapan (28) sifat Istighna dan dua puluh dua (22) sifat Ifthiqar maka jumlahnya jadi limapuluh (50) ‘aqaid yang terkandung di dalam kalimah laa ilaha ilallaah, maka jadilah makna hakikat laa ilaha ilallaah itu dua: laa mustaghniyun an kullu maasiwahu, ertinya tiada yang kaya dari tiap-tiap yang lainnya dan wa muftaqirun ilaihi kullu ma’adahu, ertinya dan berkehendak tiap-tiap yang lain kepadaNya.

Ini makna yang pertama maka daripada makna yang dua itu maka jadi empat (4):

1. Wajibal wujud, iaitu yang wajib adanya.

2. Ishiqoqul ibadah, iaitu yang mustahak bagi-Nya ibadah

3. Kholikul ‘alam, iaitu yang menjadikan sekalian alam

4. Maghbudun bihaqqi, iaitu yang disembah dengan sebenar-benarnya.

Ini makna yang kedua maka daripada makna yang empat (4) itu jadi satu (1) iaitu:

Laa ilaha ilallaah, Laa ma’budun ilallah, ertinya tiada Tuhan yang disembah dengan sebenarnya melainkan Allah.

Ini makna yang ketiga penghabisan maka jadilah kalimah laa ilaha ilallaah itu menghimpun nafi dan isbat

Adapun yang dinafikan itu sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor berdiri pada yang lain dengan mengatakan: laa ilaha dan diisbatkan sifat Istighna’ dan sifat Ifthikhor itu berdiri pada dzat Allah Ta’ala dengan mengatakan kalimah Ilallaah

Laa = nafi, Ilaha = menafi, illa = isbat, Allah = meng-isbat

Yang kedua kalimah laa ilaha ilallaah itu nafi mengandungi isbat dan isbat mengandung nafi seperti sabda nabi : laa yufarriqu bainannafi wal-isbati wamam farroqu bainahumaa fahuwa kaafirun, ertinya Tiada bercerai antara nafi dan isbat dan barang siapa menceraikan kafir. Seperti asap dengan api. Asap itu bukan api dan asap itu tidak lain daripada api. Asap tetap asap dan api tetap api: tetapi asap itu menunjukkan ada api inilah ertinya nafi mengandungi isbat dan isbat mengandung nafi. Tiada bercerai dan tiada bersekutu
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...